Mata Terindah yang Pernah Diciptakan Tuhan

Merah Aditya
5 min readNov 21, 2022

--

Mungkin hari itu akan menjadi berlainan. Namun, matahari masih menyapa lewat ufuk timur, masih juga bersarang di sisi barat. Meteorit masih menyemburkan bebatuan purba yang nantinya terkikis oleh atmosfer yang ribuan abad melindungi kita dari bebatuan luar angkasa. Ekor komet masih panas seperti bagaimana api yang merontokkan kayu menjadi abu. Hari itu sama saja, tak ada yang berbeda, hanya saja ada satu hal yang berlainan, yakni pertemuan.

Di sudut jauh lajur kereta, di antara gerbong yang jenuh. Aku mensucikan kerinduan dengan dirimu sebagai medium utamanya. Derit gerbong memasuki Stasiun Pasar Senen seperti sedang mendoakan apa-apa yang nanti akan menjadi kisah. Liuk rel kereta bak diktum yang dibacakan pelan-pelan. Siul pluit pengaba-aba adalah pertanda. Bahwa kita kian dekat. Jarak yang kita resahkan di sepertiga malam, rontok perlahan.

Ratusan kilometer, menjadi puluhan kilometer, lantas menyusut belasan kilometer, hingga akhirnya menjadi 0 juga. Tanpa jarak. Angka yang aku tunggu selama berbulan-bulan lamanya.

Ketika turun, peron terasa lindap. Terowongan Pasar Senen seperti melahapku bulat-bulat. Ia mengunyahku dengan perasaan suka cita bahwa pada akhirnya kita akan bersua juga. Namun begitu mudahnya rasa khawatir menyelinap, menjadi senyap, lalu kembali menelanku dengan lahap. “Aku bau,” kembali aku berikan pesan untukmu. Saat itu, aku benar-benar bau.

Bangku tunggu Pasar Senen seperti menunggu giliran kapan manusia akan pergi dan kembali. Stasiun hanya menjadi perantara manusia untuk datang atau pergi. Stasiun tak pernah menjadi opsi permanen. Para porter pun tak menjadikan stasiun sebagai rumahnya walau segenap mata pencaharian tercurah di dalamnya. Ojek, bajaj, maupun taksi akan singgah menjemput penumpang, stasiun bukan rumahnya.

Siul lagu Kicir-Kicir di stasiun menyadarkanku, bahwa aku tak ada lagi di Jogja. Jiwa dan ragaku tak ada lagi di sana. Yang biasanya aku dengar lagu Sepasang Bola Mata dengan sentuhan keroncong, di sini tidak lagi. Memang, keroncongnya masih sama, namun lagunya sudah berbeda. Aku seutuhnya berada di Jakarta, menanti pertemuan kita. Kakiku gemetar, kesilapanku ketika menulis kritik politik pudar. Aku di hadapanmu, tak lebih dari sekadar mas-mas grogian yang bingung mencari topik pembicaraan.

Aku lihat ponselku, kau kian mendekat. “Tiga stasiun lagi untuk transit,” katamu. Tanah Abang, lalu Manggarai. Dua tempat yang aku suka. Aku tak pernah suka Jakarta yang bersalin rupa menjadi Sudirman atau Kemang. Aku lebih suka daerah bronx yang melalui lika-liku jalanan sempit, padat penduduk, dan bau comberan. Kau sudah tahu alasannya.

“Tiga stasiun lagi sampai Tanah Abang,” katamu. Hatiku seperti sebuah sistem yang lebur berantakan. Bukan main rasa tegangnya. Badanku lemas walau berkali-kali aku tenggak air mineral. “Dua stasiun lagi Manggarai,” katamu. Keringat dingin pecah juga. Aku bergumul dengan rasa tegang. “Aku mau turun. Ini udah di Senen,” jelasmu, astaga, aku harus apa?

Aku berkali-kali membenarkan rambutku yang potongannya norak betul. Merapikan kemeja dan kaos. Celanaku, ah, sudah parah dan payah, kusut bukan main. Aku melihat pintu kedatangan. Secercah cahaya keluar dari sana, lorong itu melahirkan anak manusia yang cantikmu luar biasa. Kau sudah tiba.

Senyum yang amat indah. Hidung bangir yang enak untuk dipandang. Pipi yang menggambarkan kehidupan. Kening yang luar biasa sejuk untuk sakadar dilihat. Matamu yang begitu indah — seakan paling indah yang pernah diciptakan oleh Tuhan. Aku tak berlebihan. Jika pun berlebihan, aku hanya mengabarkan apa-apa yang aku lihat. Bisa jadi, kesempurnaan dirimu yang justru berlebihan. Aku tak salah, kan?

Suaramu seperti bidadari yang bermain harpa di Taman Firdaus. Taman yang katanya ada kolam coklat dan pegunungan keju. Aku tak ingin semua itu. Yang aku inginkan hanya membayar kesalahanku ketika kau datang ke kotaku — aku tatap matamu dan enggan untuk melepasnya. Padahal, hatiku seperti sebuah bangunan tua yang diledakkan. Puing-puing rindu yang berhamburan.

Kita ngobrol banyak hal. Kucing-kucing di Stasiun Pasar Senen, Jakarta yang siang itu begitu menyengat, sampai pada akhirnya keseriusan kita dan upaya-upaya membangun masa depan. Aku tak menyangka aku memiliki keseriusan ini, jujur saja.

Aku tak ingin kau menjadi kesalahanku yang berikutnya, sebab itu aku upayakan terbaik yang aku bisa. Aku akan mengunjungi rumahmu di Garut, aku akan mengenalkanmu dengan sanak familiku di Bantul. Semuanya, semuanya, semuanya. Aku ingin berikan yang terbaik selagi kakiku masih bisa untuk berlari, mata untuk melihat, otak untuk berpikir dan hati untuk merasa.

Hanya dari melihat mata indahmu itu, cita-cita tentangmu menjadi sebuah kewajiban yang nantinya harus aku laksanakan. Tawamu, adalah hal-hal baik yang orangtua berikan sampai kau menjadi dara yang indah luar biasa. Aku kagum pada semua tentangmu dan ini aku sedang bersungguh-sungguh.

Namun waktu menjadi antagonis utama pertemuan kita. Ia bergerak terlalu cepat. Kontinuitas seakan menertawakan kita. Sepasang kekasih yang hanya bisa melihat batasan tiga dimensi, luput akan empat dimensi yang rasanya tak mungkin untuk dimasuki. Tanganku kau rangkul. Kian kuat rangkulan itu. Kepalamu rabah di pundakku.

Katamu, “Atau aku temenin sampai pagi, ya?” Jelas aku mau. Namun kesehatanmu adalah yang utama, kan? Aku mulai khawatir ketika jam sudah menunjukan pukul delapan. Aku pesan taksi online untuk membawamu sampai tujuan. Tujuan? Bukankah cinta kita berdua adalah tujuan utama, sayang? Ada tugas yang akan kau kerjakan, esok ada kegiatan yang akan kau hadapi setelahnya.

Taksi online itu datang. Aku hanya senyum, namun hatiku luar biasa berantakan. Aku tidak menangis, tapi hatiku rontok perlahan. Aku kejar taksi itu. Aku buka pintunya. Aku lupa apa yang aku katakan pada pak supir yang membawa taksi, namun ketika kau masuk ke dalam kabin taksi, aku membuang buka. Aku takut kehilangan. Walau hanya sementara.

Aku melihatmu, kau melihatku. Pintu aku tutup, kau melaju. Aku melambaikan tangan, namun tak tahu apa kau melihatku. Gerbang keluar stasiun kau tembus dengan cepat, jarak yang tadinya 0, kini menjadi satuan, belasan, puluhan, dan esok menjadi ratusan. Aku duduk di trotoar jalan. Kusembunyikan wajahku. Kapan ya kita akan kembali berjumpa? Aku masih punya banyak kisah yang belum sempat aku ceritakan.

Aku pulang dulu, ya. Semoga kau senang dengan pertemuan kita. Walau aku tahu, banyak sekali kekuranganku yang terlihat. Aku sayang kamu, melebihi satuan waktu dan kecepatan cahaya.

--

--

Merah Aditya
Merah Aditya

No responses yet